18 Mei 2013

Peperangan di Lapangan

Sore ini aku duduk di depan rumah Bulik, di sebuah bangku yang terbuat dari bambu, kami menyebutnya dengan 'angkrik'. Aku habis bersepeda di jalan depan rumah kekanan dan kekiri, mencari teman-teman dan ikut bermain. Tapi aneh, tidak ada teman satu pun yang aku temui. mereka tidak ada di mana-mana.
"Kenapa kamu duduk disini? Ga ke balai desa sama teman-teman kamu?", tanya ibu yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakan pagar.
"Emang ada apa di balai desa?", tanyaku penasaran. Pantas saja aku mencari keberadaan mereka tidak ada, ternyata sedang berkumpul di balai desa.
"Latihan buat pentas perpisahan kelas enam, kamu ga ikut? teman-teman kamu yang lain pada ikut semua tuh", jawab ibu.
"oh, jadi ada pentas ya. Males ah". jawabku. Aku memang ga tertarik yang namanya show up. Apa pun itu. Mungkin karena aku dasarnya pemalu, atau minder? whatever.
"Daripada bengong sendiri disini mending kan kamu ikut, ya kalo ga mau ikut nonton aja sana, anak kok ngintil ibu nya terus".
"iyaaaa deh, aku kesana". kataku berlagak sebal karena diusir ibu. Sebenarnya aku berangkat ke balai desa bukan karena ibu menyuruh tapi karena penasaran saja dengan latihan pentas teman-teman untuk perpisahan kelas enam nanti. Memang tradisinya kalau kelas enam yang perpisahan, kami adik kelas, kelas lima atau kadang ada juga yang dibawah kami tampil di pentas seni.
Aku bersepeda menyusuri jalan menuju balai desa yang tempatnya ada di depan sekolahku.
Baru sampai di depan sekolah teman-teman cewek ku berlari menghampiriku dengan wajahnya yang sumringah. Aku mengernyitkan dahi. Ada apa gerangan?.
Saat mereha tiba di depanku, tanpa dikomando semua pada bicara serempak seperti burung yang bersahut-sahutan. yang aku tangkap intinya hanya satu, "Ah, Pit, kamu darimana aja, kami udah nunggu kamu dari tadi, kata anak-anak cowok kamu takut makanya kamu ga datang, tapi kita percaya kok kamu ga mungkin takut, kamu pasti datang iya kan?".
Apa pula ini kata si Wuri kalau aku takut? ga datang? apa sih yang dia maksud sebenarnnya? Aku hanya menuntun sepeda miniku mengikuti gerombolan para cewek menuju balai desa. Tunggu dulu, kenapa kami menuju.......belakang kantor desa? dan disana sudah ada gerombolan.....anak cowok? Apa sebenarnya yang terjadi?.
kemudian aku ingat peristiwa tadi siang,'Kalau kamu berani, ayo nanti sore kita duel'. Ah ya aku tadi nantangin si Didit untuk duel karena tadi dia udah nimpuk kepalaku. Dan kenapa aku bisa lupa sendiri dengan tantangan yang aku ajukan itu? Dasar pelupa.
Sebenarnya aku sudah tidak memusingkan duel itu, kalau aku pikir lagi aku bahkan sudah tidak ingat lagi kejadian tadi siang di sekolah yang ngebuat aku sampai nekat nantangin anak cowok berkelahi. bahkan di arena. Astaga, demi tuhan, kami akan berkelahi di dalam lingkaran teman-teman satu kelas yang dengan heboh bersorak-sorai? Astagaaaaa...........
Dan setelah tiba di belakang kantor desa itu aku terbengong-bengong betapa ramai sekali. Anak cewek berteriak-teriak mendukungku dan para cowok mendukung si Didit. Terus perkelahian itu pun dimulai. Entah siapa yang memulai terlebih dahulu, seranganku terhadap si Didit tidak pernah menyentuh nya sama sekali, sedangkan serangannya padaku, tendangannya, selalu mengenaiku. Yah aku tahu kalau aku cuma cewek biasa yang hanya besar mulut tapi selalu kalah dengan laki-laki dalam hal adu jotos, atau adu kaki?
Perkelahian itu pun usai dengan sorakan kekalahan yang diserukan para teman cewekku. Aku tidak peduli sebenarnya tentang siapa yang menang atau siapa yang kalah, toh sebenarnya aku sudah lupa sama sekali dengan duel ini. Tapi, harga diri? harga diriku sebagai pembela hak asasi perempuan terasa sakit, perih teriris.
Ah sial, kenapa tendangannya tepat di kaos ku? dan kenapa pula aku pakai kaos putih? Ah, ini tidak boleh. Ibu pasti marah karena tahu kaos ku kotor seperti ini. Pasti ibu ngomel-ngomel. Dan apalagi sampai dia tahu kalau kaoskku kotor karena aku 'duel' ama si Didit? ahhhhh, aku haarus menghilangkan bukti kebrutalanku ini.
aku berjalan menuju kamar mandi sekolah yang tidak jauh dari TKP. Aku menimba air di sumur dan mengambil air di ember, membersihkan kotoran jejak tendangan si Didit di Kaos ku. Ah ini harus di sembunyikan dari mata jeli ibu, sebelum aku dapat hadiah omelannya.
"Kamu jangan nangis dong, apalagi nangis sendiri disini", kata suara dibelakangku, aku mengenali siara itu adalah dari Rio yang menghampiriku kesini.
Aku mengangkat muka dan berkata,"Siapa yang nangis coba? emang mukaku sekarang ini keliatan mau nangis?".
"terus kalo ga nangis kenapa kamu disini? ga ikut anak-anak ke balai desa sana? latihan udah di mulai tuh".
"Nih, liat baju ku kotor", jawabku sembari nunujukin kaos depan ku yang putih kearahnya."Kamu sendiri kan tahu ibu ku bawel banget, kalau sampai tahu kaos ku kotor pasti ngomel-ngomel. Kamu duluan aja deh sana ntar aku nyususl abis bersihin ini".
"Beneran ga apa-apa? ga nangis kan?", tanya dia masih belum percaya.
Aku tidak menjawab, hanya menatapnya dengan tatapan plis deh emang aku ini cewek cengeng yang hanya karena kayak gitu aja bakalan nangis darah?. Tapi dasar tolol dia tak menangkap sinyal dariku tadi. Akhirnya aku menyerah dan balik ke balai desa sebelum semua anak di sana mengira aku memang nangis beneran di kamar mandi. dan firasatku benar, tiba di balai desa semua teman cewek bertanya "Kamu kok ga balik-balik sih Pit? kata mereka kamu nangis di kamar mandi tadi".
"Emang muka ku ini keliatan abis nangis?", kataku jengkel.

'Kalo berani Ayo Kita Duel'

Hari ini wali kelas sedang ijin keluar sekolah karena ada acara, tak tau apa acaranya. Aku, atau kami, tidak peduli karena berarti sedang tidak ada pelajaran. Dan itu bagus buat kami karena bisa bermain di dalam kelas.
Kalau pelajaran sedang kosong gini selalu gaduh, anak-anak cowok mulai dengan keisengannya jahhilin anak-anak cewek. Dan aku yang merasa berjiwa ksatria bagi kalangan cewek selalu membantu ngebales perlakuan mereka para cowok. Entahlah mengapa mereka tiap diisengin cowok selalu mengadu kepadaku, mungkin karena aku yang sok berani ngebales mereka, ato karena aku emang tomboy. Padahal aslinya aku tuh lembek.
Dan tak tahu kenapa tiba-tiba dari kami bermain jual-jualan, yang semula cuman para cewek yang main tiba-tiba anak cowoko ikut main dan bikin gaduh, akhirnya terjadilah perang antara kubu cewek dan cowok. Aku sendiri tak tahu apa penyebab peperangan ini, tapi yang aku tahu, kami, para cewek ga mau ditindas oleh kenakalan mereka. bagaimana pun mereka tak berhak jahil sama kita.
Kami mulai kejar-kejaran, tak jelas lagi siapa mengejar siapa. Aku segera mengambil buku Ipa karena buku ini yang paling tebal, sehingga aku berharap kalau aku timpukin ke mereka, mereka bisa merasakan sakitnya. Tapi dasar bandel, tidak menampakkan rasa sakit, tapi malah ngece, huh!. Aku jadi gemas sendiri. Akhirnya aku gulung buku itu seperti pelompong, dan ku masukin batu biar lebih keras, biar tahu rasa!
tapi mereka tak jera juga. Sudah berjam-jam kami bekejar-kejaran, aku capek juga.Aku tipe anak pemalas yang gerak dikit aja udah kecapekan, hehehe. Akhirnya aku istiraha di bangku sambil merebahkan badan di kursi bangku kayu yang panjang. Tiba-tiba, si Didit menimpuk kepalaku, tepat di kepalaku kala aku sedang tak awas. Aku muntab, aku paling benci ada orang yang memasuki area kepalaku, ga peduli siapa. Emosi ku mencapai ubun-ubun.
Aku nyemprot Didit sambil nimpuk punggungnya pakai buku IPA tadi, "Hey, apa-apa an sih, nimpuk kepala orang huh?"
"Apa an sih siapa yang nimpuk kepala kamu? dasar cewek sok jago, pake nimpuk orang segala lagi", umpatnya.
Aku ga mau kalah karena aku yakin dia yang nimpuk kepalaku, area terlarang, "Emang kamu pikir aku ga tau apa? Jangan ngeles deh".
Percekcokan terus terjadi dengan aku menahan gejolak emosi yang siap menyembur seperti naga api yang menyemburkan napas apinya, hingga kerongkonganku berasa sakit sekali menahan amarah ini. Akhirnya karena tak tahan lagi tercetuslah kalimat pamungkas itu dari mulut besarku. "Pokoknya aku ga terima ini, klo berani ayo entar sore kita duel", teriakku bersungut-sungut.
"terima aja Dit, masak ga berani", kata teman laki-laki yang lain ngomporin si Didit.
"Oke, nanti sore di lapangan, aku tunggu", Katanya membalas tantanganku.
Semua anak di dalam kelas bersorak sorai seperti penonton sepak bola yang senang karena tim jagoannya menang di lapangan. Oke, nanti sore aku akan membalas semua ini. Kataku dalam hati dengan emosi yang masih meletup-letup bagai bola api.